Thursday, July 22, 2010

BECAK, WARUNG NASI DAN PASAR

2 comments
BECAK, WARUNG NASI DAN PASAR

Matahari belum sempat mengintip melalui jendela, ayam – ayam masih malas berkokok, serta gelap belum mau meninggalkan langit tetapi Aku sudah sibuk menarik – narik katrol sambil terkantuk – kantuk, udara yang dingin dan mata yang masih malas untuk terbuka tak membuatku enggan melakukan tugasku mengisi bak mandi dengan air sumur yang dingin. Matahari belum Nampak tetapi rumah sempit ku sudah ramai, Bapak yang bersiap berangkat ke Masjid, Ibu dengan mukena putihnya yang lusuh, dan ketiga Abangku yang masih terkantuk – kantuk menekuri buku pelajaran.
Usiaku masih sepuluh tahun tetapi Ia telah terbiasa bangun sebelum subuh, sejak kecil aku sudah di ajarkan disiplin.
Usai sholat subuh, Biasanya tanpa sepengetahuan bapak ketiga Abangku pergi ke Pelabuhan yang letaknya beberapa kilometer dari rumah sempitku untuk menjadi kuli panggul, Bapak bersiap dengan becaknya untuk mengantar ibu dan Anjani ke pasar.
Ibu membuka warung nasi di depan rumah sempit kami sedangkan Bapak bekerja mengayuh becak setiap hari.
Bagiku, Ibu dan Bapak adalah Matahari. Matahari yang menyinari tiap langkahku, Matahari yang membakar semangatku dan Ketiga Abangku adalah pelangi yang memberi warna dalam hidupku.
Bapak adalah sosok yang sangat mengagumkan, mengayuh becak setiap hari untuk menafkahi keluarga, sedikitpun Bapak tak pernah mengeluh. Bapak memang bukan Sarjana yang pandai dalam hal keilmuan tetapi bagi bapak pendidikan anak – anaknya yang utama. Meski uang yang di dapat dari mengayuh becak tidaklah banyak, bapak tidak pernah mengijinkan anaknya putus sekolah, bahkan bapak melarang ketiga abangku bekerja, Itulah mengapa setiap pagi abang – abangku secara sembunyi – sembunyi pergi ke pelabuhan untuk bekerja.
Ibu adalah sosok yang lembut, kehidupan yang sulit tidak membuatnya mengeluh. Bagi Ibu apapun yang dimiliki harus di syukuri.
***********************************************************************
Matahari telah menyunggingkan senyum lebarnya, membagi sinarnya dengan seluruh jagat. Aku dan Ibu baru sampai di depan warung reyot kami di depan rumahku. Aku sibuk menurunkan barang – barang belanjaan dan memindahkannya ke dalam warung. Ibuku asyik menghitung pengeluarannya, sedangkan bapak mengisi botol minumnya dengan air. Usai merapikan semuanya aku bergegas masuk kerumah dan mengganti pakaianku dengan seragam putih merah kebangganku. Aku harus cepat jika tidak ingin terlambat ke sekolah, bagiku membantu Ibu adalah kewajiban bukanlah sesuatu beban. Meski badan ini letih tak mengapa, ini semua demi aku dan ketiga abangku.
Tiap pagi bapak selalu mengantarku kesekolah dengan becaknya, bapakku memang hanya tukang becak tapi aku bangga pada bapakku. Meski sebagian orang mencemoohku dan ketiga abangku. Bagi mereka percuma aku dan abangku sekolah setinggi – tingginya karena bapakku tukang becak maka aku dan ketiga abangku kelak akan mengikuti jejak bapak. Sering sekali aku menangis ketika kawan – kawanku mecemoohku demikian tapi bapak selalu memeberiku motivasi.
“ Anjani, bapak memang cuma tukang becak tetapi bapak mau Anjani sekolah setinggi – tingginya agar Anjani bisa jadi orang yang sukses. Jangan hiraukan kata orang “
Begitu mendengar perkataan bapak, tangis ini tiba – tiba mereda. Rasa sakit yang menusuk ulu hati ini tiba – tiba sirna.
Aku masih kecil untuk memahami kata – kata bapak, tapi itu cukup membuatku tenang.


Matahari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari sekolah. Aku sudah biasa berjalan kaki beberapa kilometer dari sekolahku ke rumahku, bagiku ini adalah pengorbanan yang suatu saat nanti akan terbayar. Saat aku pulang dari sekolah ketiga abangku baru akan berangkat ke sekolah, ketiganya bersekolah di SMK yang sama. Bagi mereka bekerja apapun akan dilakukan asal bisa membantu Bapak. Beberapa bulan ini mereka bekerja mengumpulkan uang untuk biaya sekolah yang makin hari makin mahal, meskipun Bapak mengatakan akan melakukan apapun agar anaknya bisa bersekolah tapi ketiga abangku merasa tahu diri. Bagaimana mungkin membiarkan bapak mengayuh becak seharian, kehujanan, kepanasan, sedangkan mereka duduk manis tanpa berbuat apapun. Meski masih kecil aku sudah tahu banyak tentang apa yang dipikirkan ketiga abangku, bagi mereka aku bukanlah gadis kecil manja yang merepotkan. Aku bagian dari mereka yang harus di perjuangkan.
Aku mengganti pakaian seragamku dengan kaos merah marun yang sudah lusuh dengan celana pendek selutut. Kemudian tanpa disuruh lagi aku langsung mengambil alat untuk menumbuk kopi. Terkadang ada sedikit keinginan untuk bermain bersama kawan – kawanku tapi aku berbeda dengan mereka, Ibuku sangat sibuk melayani para kuli pelabuhan makan siang setiap harinya. Jika bukan aku yang membantu lalu siapa lagi, sekali lagi aku selalu berpikir ini adalah pengorbananku yang nantinya akan terbayar lunas.
Setelah menyelesaikan tugasku menumbuk kopi, dan menghaluskan bumbu – bumbu masakan aku baru bisa bermain bersama kawan – kawanku.
Hari ini aku dan beberapa kawanku bermain lompat tali, sebelumnya kami merangkai karet gelang yang sudah beberapa hari kami kumpulkan. Karet gelang itu di rangkai sedemikian hingga sehingga membentuk untaian tali panjang yang terbuat dari karet gelang, kemudian dua orang dari kami akan memegang di kedua sisinya dan kami akan melompat melewati tali itu mulai dari setinggi mata kaki sampai setinggi kepala kami.
Kami bergantian melompat, jika tidak dapat melalui untaian tali temali karet gelang itu kami akan menggantikan orang yang memegang tali di salah satu sisinya.
Bermain, sejenak melupakan kewajibanku dan tugas – tugasku. Sejenak melupakan kenyataan bahwa aku hanya seorang anak tukang becak yang seringkali di ejek karena memiliki impian yang terlampau tinggi, sejenak melupakan kewajibanku membantu Ibu berjualan di warung nasinya, dan sejenak melupakan bau anyir pasar yang harus ku datangi setiap pagi bersama Ibu.
Hal – hal membahagiakan semacam ini yang kelak ingin aku ceritakan pada anak cucuku, aku tidak akan pernah menceritakan betapa susahnya setiap pagi harus kepasar bersama Ibu dan membawa belanjaan yang beratnya tidak karuan, betapa beratnya alat penumbuk kopi yang terbuat dari tanah liat itu, dan betapa perihnya mataku ketika menghaluskan bumbu – bumbu masakan itu. Yang akan ku bagi hanyalah kisah – kisah membahagiakan, yang akan kubagi adalah bagaimana aku bangga bisa membantu Ibuku setiap hari, bagaimana Bapak membiayai kami sekeluarga dari penghasilannya yang hanya bisa untuk makan kami sehari.
Becak, Warung Nasi dan Pasar adalah bagian dari masa kecilku yang kupandang sebagai suatu pengorbanan yang kelak dapat terbayar lunas tatkala segala impianku tercapai.

BANG MUIS, BANG SYAMSUL, DAN BANG ARI

Seperti biasa setiap matahari tepat berada di atas kepalaku, warung reyot Ibu pasti sudah ramai di kerumini para kuli – kuli pelabuhan yang hendak makan siang. Yang tak seperti biasa adalah ketiga abangku ada di rumah disertai becak Bapak yang menandakan Bapak juga ada di dalam rumah. Ini adalah kejadian yang tak biasa, yang ada di benakku saat ini adalah Abangku ketahuan bekerja dan sekarang bapak marah. Aku bergegas masuk kedalam rumah, kudapati ketiga abangku duduk di hadapan bapak dengan wajah tertunduk. Bang Syamsul, Anang keduaku pucat pasi dengan wajah penuh luka. aku ikut duduk di samping Bang Ari abang ketigaku yang duduk paling pojok.
“ Bang syamsul kenapa pak….” Ucapku lirih.
“ kamu diam saja Jani, Bang Syamsul kena masalah di sekolah” ucap abang pertamaku.

Sudah hampir lima belas menit aku ikut duduk di hadapan Bapak tetapi bapak belum mengucapkan sepatah katapun, aku tahu kebiasaan bapak. Bapak ingin kami menjelaskan permasalahan kami, Bapak tak ingin menghakimi tetapi rupanya Bang Syamsul terlalu takut untuk menjelaskan.
“Pak…Bapak maafkan Syamsul pak, syamsul difitnah….” Ucap abangku sambil meringis kesakitan.
“ Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu Syam, pantas saja kamu di tuduh mencuri karena mana mungkin Bapakmu ini memberi Uang sebanyak itu “
Ketiga abangku terdiam, aku tahu mereka takut Bapak marah jika mendengar mereka bekerja jadi Kuli panggul di pelabuhan. Tapi rasanya aku tak tega melihat Bang Syamsul kesakitan, meski aku tak paham sebenarnya apa yang terjadi.
“ Bapak….Anjani Tahu kok kalo itu uang punya Bang Syamsul “
“ Anjani, kamu tidak ada disana jadi tidak mungkin kamu tahu. Jangan membela Abangmu dengan berbohong, Jani tahu kalo berbohong itu dosa “
“Pak, Anjani gak bohong. Anjani tahu itu uang bang Syamsul, Bapak lihat saja di celengan Bang Muis dan Bang Arie pasti juga ada Uang sebanyak itu “
Bang Ari dan Bang Muis terhenyak menatapku, aku takut dipandangi seperti itu. Tapi aku ingin melindungi bang Syamsul aku harus mengatakan apa yang aku tahu. Aku tidak suka orang – orang di luar sana nantinya menganggap Bang Syamsul pencuri. Aku tahu betul uang itu milik Bang Syamsul, dan aku tahu betul uang itu sengaja di bawa untuk membayar uang sekolah yang sudah menunggak beberapa bulan. Semua ini sudah dibicarakan saat kami berempat bangun subuh tadi.
“ Abang…..maafin Jani bang tapi ini untuk Bang Syamsul. Pak, Abang tiap subuh kerja di Pelabuhan, Jani memang gak tahu pasti tapi Jani percaya abang gak mungkin bohong sama jani. Itu uang bang Syamsul untuk membayar uang sekolah pak…”
Bapak terdiam, ketiga abangku terlihat agak lega. Wajah stress mereka sedikit terhapus. Kecuali Bang Syamsul yang Nampak kurang puas.
“ Bapak percaya, kalian tidak mungkin berbohong. Syam nanti biar bapak yang urus temanmu yang menuduhmu mencuri, sekarang kamu ganti pakaian dulu. “
Bang Muis mengacak acak rambutku kemudian tubuh kekarnya menggendongku ke punggungnya, Bang Ari di belakang mengikuti. Di bawanya aku di tanah lapang dekat rumahku, Bang Muis mendudukkan aku di atas dahan bungan flamboyant yang rendah tetapi kuat. Beberapa saat kami terdiam, aku merasa bersalah pada mereka. Setelah ini mereka tak mungkin bisa bekerja lagi.
“ Bang Anjani minta maaf ya bang…..”
“Jani Bang Muis gak marah, Abang tahu ini buat kita semua “
“ Bang kayaknya Syamsul bakal di keluarin dari sekolah, Robert itu khan anaknya Lurah Bang “
“ Jangan mikir sampai kesana dulu Ri, biar Bapak sama Syam yang urus dulu “
“ Tapi bang….Robert itu emang uda lama iri sama Syam “
“ Apa yang bikin dia iri, kita gak punya apa – apa gini ri….”
“ Soalnya …. “
“ Soalnya kenapa Ri??? “
“ Soalnya beberapa kali Nur Jannah bawain makan buat Syam. Tapi itu sebenarnya dari bu Haji bang, beberapa kali Syam bantu – bantu di situ makanya Bu Haji kenal sama Syam “
“ Masalah perempuan rupanya, kita ini anak orang susah Ri. Mana sempat mikirin perempuan, cari uang buat sekolah kita sudah susah, begini jadinya kalo kita berurusan dengan perempuan”
Aku mendengarkan saja percakapan kedua Abangku, aku masih belum mengerti tapi sedikit banyak aku bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang bernama Nur Jannah itu penyebab dari fitnah yang di lakukan kawan Abangku. Aku tahu betul siapa Nur Jannah, gadis berjilbab anak Pak Haji Sholeh pemilik toko kelontong di depan Pasar. Ibu kenal dekat dengan Bapaknya, beberapa kali pak Haji mengajak Bang Syam membantu – bantu di rumahnya. Di antara ketiga abangku, Bang syam yang mengambil jurusan elektronika. Bang Syam piawai membenahi barang – barang elektronika meskipun masih kelas dua SMK. Nur Jannah sekolah di SMU yang bersebelahan dengan SMK ketiga Abangku, pantas jika setiap hari bertemu. Kedua sekolah itu terletak pada satu tempat yang sama.
Aku bertekat untuk membersihkan nama bang Syam di depan Pak Haji, besok pagi saat berangkat ke pasar aku akan mengatakannya.
************************************************************************
********* ups terpotong dulu ceritanya tunggu kelanjutanya yah **********************

2 comments:

jika menurut anda artikel ini bermanfaat , tolong tinggalkan pesan

Free counters!